K.H. Ibrahim (1923-1934)

Share This Post

Share on facebook
Share on linkedin
Share on twitter
Share on email

K.H. Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874 dan wafat pada tahun 1934. Ia adalah putra K.H. Fadlil Rachma­ningrat, seorang Penghulu Hakim Kesul­tanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengku­buwono ke VII, dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan. K.H Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno pada tahun 1904. Namun pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah, putri ragil dari K.H. Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah).  

Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia merupakan seorang yang hafidh Al-Qur’an dan ahli qira’ah, serta mahir berbahasa arab. Banyak keisimewaan yang dimiliki oleh K.H Ibrahim, diantaranya yaitu:

  1. Saat Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Sumatra Barat, tahun 1930, peserta terpesona. Pidato pembukaan beliau memukau, karena dengan fasih sekali disampaikan dalam bahasa Arab.
  • Seorang organisatoris. Di masa kepemimpinan Ibrahim, pesat kemajuan Muhammadiyah. D lohi antara indikatornya, Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta. Tercatat, kongres ke-15 di Surabaya, ke-16 di Pekalongan, ke-17 di Solo, ke-19 di Bukittinggi, ke-21 di Makassar, dan ke-22 di Semarang.
  • Seorang yang peduli pemuda. Pada 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan menggalang dana untuk membiayai sekolah anak-anak miskin. Pada 1925, beliau mengadakan khitanan massal.
  • Peduli (pemerataan) pendidikan. Di masa Ibrahim, sejak 1928, ada program mengirim putra-putri lulusan sekolah Muhammadiyah (Mu’allimiin, Mu’allimaat, Tabligh School, Normaal School) ke seluruh pelosok Indonesia. Program ini lalu dikenal sebagai “Anak Panah Muhammadiyah”. Sementara, pada Kongres Muhammadiyah di Solo di tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan badan usaha penerbitan buku sekolah Muhammadiyah di bawah naungan Majelis Taman Pustaka.
  • Seorang visioner. Pada Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, 1932, diputuskan Muhammadiyah menerbitkan surat kabar. Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari media itu diberi nama “Adil”.
  • Pandai menggalang dana. Sekadar contoh, di tangan Ibrahim pengajian tak hanya untuk berbagi dan menerima ilmu saja, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk menggalang dana. Hasilnya, untuk mendukung gerakan Muhammadiyah.
  • Seorang yang. Pada Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta -1928- ada sedikit ketegangan. Saat itu muncul permintaan agar gambar KH Ahmad Dahlan diturunkan dari dinding dan yang meminta justru Ibrahim.
  • Peduli peran perempuan. Ibrahim berhasil membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib dan kuat.

KH Ibrahim wafat dalam usia 60 tahun, pada awal tahun 1934, setelah menderita sakit agak lama. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim) cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air.

Sumber:

https://suaramuhammadiyah.id/2020/02/21/kh-ibrahim-hafidz-al-quran-penerus-kiai-dahlan/ https://pwmu.co/150686/06/05/delapan-keistimewaan-kh-ibrahim-sang-penerus-kiai-dahlan/

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

More To Explore

Muhammadiyah

K.H. Ibrahim (1923-1934)

K.H. Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874 dan wafat pada tahun 1934. Ia adalah putra K.H. Fadlil Rachma­ningrat, seorang Penghulu Hakim

Muhammadiyah

K.H. Hisyam (1934-1937)

K.H. Hisyam lahir di Kauman Yogyakarta, tanggal 10 November 1883 dan wafat 20 Mei 1945. Ia memimpin Muhamadiyah hanya selama tiga tahun. Ia adalah salah satu